|
Sejarah Pelajar Islam Indonesia [PII] |
Pembentukan
Salah satu faktor pendorong terbentuknya Pelajar Islam Indonesia (PII)
adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang
merupakan warisan
kolonialisme Belanda, yakni pondok
pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok
pesantren berorientasi
ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya
pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain
saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum
merupakan sistem pendidikan orang
kafir karena
produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar
sekolah umum dengan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum
menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka
menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri "teklekan".
Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni
Ikatan Pelajar Indonesia (IPI)
namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri
pondok pesantren. Hal ini menjadi kerisauan seorang pelajar
STI Yogyakarta,
Joesdi Ghazali. Oleh karena itu, pada tanggal
25 Februari 1947 ketika sedang beri'tikaf di
Masjid Besar Kauman Yogyakarta,
muncul gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam
yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut
kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2
Setyodiningratan, Yogyakarta. Peserta pertemuan tersebut antara lain:
Anton Timur Djaelani,
Amien Sjahri, dan
Ibrahim Zarkasji. Semua yang hadir bersepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Joesdi Ghazali kemudian menyampaikan kesepakatan tersebut dalam Kongres
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (
GPII),
30 Maret-
1 April 1947. Kongres menyetujui gagasan Joesdi Ghazali dan memutuskan melepas
GPII Bagian
Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan
dibentuk. Selanjutnya peserta kongres GPII yang kembali ke daerah
masing-masing juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus
pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada
Minggu, 4 Mei 1947, diadakan pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri
Joesdi Ghozali,
Anton Timur Djaelani, dan
Amien Syahri dari
GPII Bagian Pelajar, Ibrahim Zarkasji dari Yahya Ubeid dari Persatuan
Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan
Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM)
Surakarta,
serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam
Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Joesdi Ghozali itu
kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII)
tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947 M/ 12 Jumadits Tsani 1366 H. Hari
pembentukan PII tersebut diperingati sebagai
Hari BangkitPII
(HARBA PII). Hal dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang
sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari
lahir atau hari ulang tahun.
Revolusi Fisik
Tak lama setelah PII berdiri pada tahun, pada tahun 1947 Belanda melancarkan
agresi militer yang pertama.
Dalam agresi ini kader PII terlibat dalam revolusi fisik melalui
pembentukan Brigade PII di Ponorogo pada 6 November 1947 yang dipimpin
oleh Abdul Fattah Permana. Korps yang baru dibentuk ini ikut serta
sebaga pendamping
Jenderal Sudirman dalam
perang gerilya. Secara khusus Jenderal Sudirman mengapresiasi peran PII
dalam pidatonya pada peringatan Hari Bangkit I PII tahun 1948 di
Yogyakarta
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku di PII,
sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII
kepada negara. Teruskan perjuanganmu. Hai anak-anakku Pelajar Islam
Indonesia. “Negara di dalam penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan
banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap
bangsa Indonesia."
Masa konsolidasi PII dimulai setelah tahun 1952. Pada saat itu jumlah
anggota PII dan kepengurusan PII sudah meluas se-Indonesia. Pada tahun
ke-4 (1951) berdirinya PII, PII sudah menjadi organisasi pelajar yang
terbesar di Indonesia. Daerah dan Cabang PII tersebar dari Aceh sampai
Ternate, tidak kurang jumlahnya 127 buah dengan jumlah anggota 127.000
orang. Meningkatnya jumlah kader PII ini karena beberapa keputusan umat
Islam sebelumnya, khususnya pada “Konggres Muslimin Indonesia tahun
1949” memutuskan bahwa satu-satunya Organisasi Pelajar Islam adalah
“Pelajar Islam Indonesia (PII)”. Juga pada saat Konggres Muslimin
Indonesia itu, PII menjadi salah satu panitia utama konggres sehingga
PII punya kesempatan bertemu dan berdialog dengan berbagai kalangan
ulama Indonesia yang memiliki basis massa pesantren sangat besar.
Seperti K.H. Ali Maksum, K.H. Imam Zarkasyi, utusan ulama dari Aceh
Teuku Daud Beureuh yang berdialog tentang kemungkinan berfusinya TPI
Aceh dengan PII Yogyakarta.
Sebelum KMI, PII juga menyelenggarakan konggres pendahuluan di
Yogyakarta pada 20-25 Desember 1949, menghasilkan dua keputusan penting:
(a). Akan dilaksanakan KONBES III di Bandung pada tanggal 27-31 Maret
1950. (b). Diputuskan hanya 1 organisasi pelajar yaitu PII. Point2
penting keputusan Konggres Pendahuluan III di Yogyakarta dan hasil
Konggres Muslimin Indonesia di Yogyakarta dibicarakan kembali dalam
Konferensi Besar III di Bandung. KONGRES III di Bandung, dihadiri
wakil-wakil dari seluruh kepulauan Indonesia. Hasil yang sangat penting
dalam sejarah perjuangan PII adalah adanya peleburan dari organisasi
pelajar Islam lokal di beberapa tempat:
• Persatuan Pelajar Islam (PPI) yang berpusat di Makasar. • Persatuan
Pelajar Islam Indonesia (PERPINDO) yang berpusat di Kutharadja Aceh. •
PII Jakarta Raya yang secara organisatoris belum tergabung dalam
organisasi PII yang berusat di Yogyakarta. • Kesatuan organisasi pelajar
Islam adalah PII • Penyempurnaan AD ART • Menyusun program baru. •
Pembubaran Brigade dan Tentara Pelajar Islam (TPI) regimen Aceh sesuai
dengan UU Pemerintah No. 32 1949. • Membuat wadah bagi eks Brigade dan
TPI dengan nama “barisan pergerakan tenaga” dan dialihkan perjuangannya
kepada kepanduan dengan tujuan untuk membela kehormatan agama bangsa dan
organisasi. Kepanduan itu dengan nama Pandu Islam Indonesia.
Keputusan KONBES III di Bandung merupakan pilar ke 3 PII yang secara
tegas memutuskan semangat persatuan dengan terjadinya “fusi” disemua
organisasi lokal “pelajar Islam” di Indonesia. maka tidak heran, PII
pada tahun 1951 menjadi organisasi terbesar se-Indonesia, bahkan
se-Dunia.
AFS
Pada tahun 50-an PII melakukan berbagai kerja sama pendidikan dengan
berbagai negara. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah
American Field Service (AFS)
berupa pertukaran pelajar di Indonesia dengan di Amerika. Beberapa
kader PII yang merupakan alumni AFS ini adalah Taufiq Ismail, Tanri
Abeng, dan ZA. Maulani. Belakangan program ini diambil alih oleh
Pemerintah RI.
Angkatan 66
Setelah mengeluarkan
dekrit presiden 5
Juli 1959, Presiden Soekarno memusatkan seluruh kekuasaaan negara di
tangannya sendiri. Soekarno mengajukan konsep persatuan antar ideologi
yang dikenal dengan
NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis).
PII yang sejak semula tidak sejalan dengan PKI menolak konsep itu
bersama dengan elemen lain seperti HMI dan GPII. Pada tahun 1962, GPII
dibubarkan serta dilanjutkan dengan usaha pembubaran HMI. Saat itulah
PII mengeluarkan pernyataan,
"Langkahi mayat PII sebelum membubarkan HMI".
Perseteruan PII dan PKI terus berlanjut terutama setelah pembubaran Masjumi di tahun 1960. PKI menggelari anak-anak PII sebagai
Masjumi bercelana pendek.
Puncak perseteruan itu berubah menjadi teror yang dilancarkan oleh
organ PKI di Kanigoro, Kediri. Teror ini dikenal sebagai Teror Subuh di
Kanigoro (
Kanigoro Affairs)
pada Januari 1965. Saat itu ratusan kader PII yang sedang melaksanakan
kegiatan Mental Training diserbu oleh ratusan organ PKI.
Pada tahun 1966 PII mengkonsolidasi kekuatan pemuda pelajar dalam sebuah gerakan bernama
KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Ketua Umum PB PII saat itu,
M. Husni Thamrin,
dipilih sebagai Sekretaris Jenderal KAPPI. Segera setelah itu KAPPI
berdiri di berbagai daerah di Indonesia melalui jaringan PII sebagai
pelopornya. KAPPI menjadi sarana efektif penyuaraan Tritura setelah
terkekangnya aktivitas
KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia). Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan KAPPI
tak jarang mengakibatkan kontak fisik dengan aparat keamanan. Beberapa
kader PII/KAPPI tewas dalam gelombang demonstrasi tersebut antara lain
Ichwan Ridhwan Rais di Jakarta, Hasanuddin di Banjarmasin, Syarif Alqadri di Makassar, Ahmad Karim di Bukittinggi, dan masih banyak yang lainnya.
Bawah Tanah
Pada tahun 1985 pemerintah
Orde Baru menerbitkan
Undang-Undang Keormasan No.
8 tahun 1985. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa setiap
organisasi kemasyarakatan di Indonesia harus mencantumkan
Pancasila sebagai satu-satunya asas atau
asas tunggal.
Undang-undang ini merupakan bagian dari paket Undang-Undang Politik
dimana sebelumnya telah ada undang-undang yang mengatur hal yang sama
untuk
Partai Politik. Organisasi Kemasyarakatan diberi waktu selama dua tahun untuk menyesuaikan diri sebelum dikenai sanksi.
Terdapat tarik-menarik yang cukup heboh tentang masalah ini. Pada
prinsipnya semua organisasi kemasyarakatan sepakat dan mengakui
Pancasila sebagai dasar negara namun terjadi penolakan apabila semua
organisasi dipaksakan menyesuaikan asas mereka dengan dasar negara.
NU adalah ormas Islam yang paling cepat menyesuaikan diri dengan UU tersebut. Sedangkan
Muhammadiyah akhirnya menerima setelah melalui proses yang cukup alot.
HMI yang merupakan organisasi mahasiswa Islam terbesar akhirnya pecah menjadi dua kubu yakni
HMI Dipo di bawah pimpinan
Harry Azhar Aziz yang kemudian dilanjutkan oleh
M. Saleh Khalid dan
HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di bawah pimpinan
Eggie Sudjana.
Kubu Dipo menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas sedangkan HMI
MPO menolak menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua HMI
ini masing-masing mengaku sebagai HMI yang sah.
Di PII sendiri bukan tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini.
Sebagian memilih menyesuaikan diri dan sebagian yang lain menolak. Kubu
yang menolak beralasan bahwa negara tidak boleh mengatur secara paksa
urusan internal ormas. Sementara kelompok yang menerima beralasan bahwa
PII tidak perlu terlalu memperhatikan masalah itu karena pada dasarnya
PII akan lebh banyak berkutat pada masalah pelajar. Tarik-tarik ini baru
selesai pada saat
Deklarasi Cisarua yang memutuskan bahwa PII menolak menyesuaikan diri dengan
asas tunggal. Pada 17 Juni 1987, pemerintah melalui
Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan pembekuan PII dan larangan segala aktivitas yang mengatasnamakan PII di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah dibekukan, secara resmi PII sudah terlarang melakukan berbagai
aktivitas di Indonesia. Namun pada kenyataannya kegiatan PII tetap
berjalan seperti biasa namun disiasati dengan menggunakan nama samaran.
Di beberapa daerah, Pengurus Daerah PII berkegiatan dengan menggunakan
nama Kelompok Belajar, Kelompok Pengajian, Kelompok Arisan, serta
Kelompok Hobi. Untuk kegiatan Kaderisasi, PB PII mengantisipasi dengan
memperkenalkan model kaderisasi yang disebut "Sebelas Bintang, Matahari
Plus Rembulan". Model ini dengan segera berkembang menjadi sistem
kaderisasi alternatif selama masa pembekuan. Dengan cara ini, kegiatan
PII tetap berjalan walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Reformasi
Menjelang
Reformasi 1998,
PII sedang mempersiapkan diri untuk kembali menjadi organisasi formal
dalam pentas gerakan pemuda/pelajar di Indonesia. Untuk itu PII
menerapkan "Strategi Kulit Bawang" dimana PII mempunyai dua Anggaran
Dasar. Satu Anggaran Dasar yang asli untuk kebutuhan internal, dan satu
lagi Anggaran Dasar samaran untuk legalisasi di Departemen Dalam Negeri.
Dari segi kaderisasi, PII sebelum reformasi juga menyiapkan sistem kaderisasi terbaru bernama Sistem Ta'dib.
Keanggotaan dan Kepemimpinan
Keanggotaan
Keanggotaan di PII ditandai dengan beberapa jenis. Jenis pertama Anggota
Tunas yaitu pelajar tingkat seolah dasar yang mengikuti kegiatan
pembinaan di PII. Kedua, Anggota Muda yakni pelajar tingkat sekolah
menengah yang mengikuti pembinaan PII. Ketiga, Anggota Biasa yakni
pelajar tingkat menengah yang telah mengikuti Basic Training PII.
Keempat, Anggota Luar Biasa yakni pelajar asing yang menjadi Anggota
PII. Kelima, Anggota Kehormatan yakni orang-orang yang berjasa pada PII
dan diangkat sebagai anggota.
Dari semua jenis anggota itu yang mempunya hak dan kewajiban penuh untuk
beraktivitas, dipilih dan memilih di PII hanya Anggota Biasa.
Kepemimpinan
Pengurus Komisariat
Pengurus Komisariat PII adalah unit terdepan pembinaan pelajar. Pengurus
Komisariat berbasis di sekolah SMP atau SMA, Mesjid, atau Kelurahan.
Pengurus Komisariat dipilih dalam Musyawarah Komisariat untuk masa bakti
1 tahun. Personil Pengurus Komisariat berusia rata-rata 13-17 tahun.
Pengurus Daerah
Pengurus Daerah PII adalah unit Kepemimpinan satu tingkat di atas
Komisariat. Pengurus Daerah berbasis di daerah Kota atau Kabupaten
walaupun tidak tertutup kemungkinan ada 2 pengurus daerah dalam satu
kabupaten. Pengurus Daerah dipilih dalam Konferensi Daerah untuk masa
bakti 1 tahun. Personil Pengurus Daerah berusia rata-rata 13-17 tahun.
Dalam satu Pengurus Daerah biasanya ada 3 institusi yakni Badan Induk,
Koordinator Daerah Badan Otonom PII Wati serta Koordinator Daerah Badan
Otonom Brigade PII. Di Pengurus Daerah juga terdapat Korps Pemandu dan
Muallim atau lebih dikenal dengan Dewan Ta'dib Daerah (DTD).
Pengurus Wilayah
Pengurus Wilayah PII adalah unit Kepemimpinan satu tingkat di atas
Daerah. Pengurus Wilayah berbasis di daerah Propinsi walaupun tidak
tertutup kemungkinan ada 2 pengurus wilayah dalam satu propinsi.
Pengurus Wilayah dipilih dalam Konferensi Wilayah untuk masa bakti 2
tahun. Personil Wilayah berusia rata-rata 18-22 tahun atau sedang
menjadi mahasiswa S1. Dalam satu Pengurus Wilayah biasanya ada 3
institusi yakni Badan Induk, Koordinator Wilayah Badan Otonom PII Wati
serta Koordinator Wilayah Badan Otonom Brigade PII. Di Pengurus Wilayah
juga terdapat Korps Instruktur atau lebih dikenal dengan Dewan Ta'dib
Regional (DTR).
Pengurus Besar
Pengurus Besar PII adalah unit Kepemimpinan tertinggi di PII. Pengurus
Wilayah dipilih dalam Muktamar Nasional untuk masa bakti 3 tahun.
Personil Pengurus Besar rata-rata diisi oleh mahasiswa S1 tingkat akhir
dan Mahasiswa S2. Dalam Pengurus Besar biasanya ada 3 institusi yakni
Badan Induk, Koordinator Pusat Badan Otonom PII Wati serta Koordinator
Pusat Badan Otonom Brigade PII ditambah dengan Badan dan Lembaga Khusus.
Di Pengurus Besar terdapat Dewan Ta'dib.
Badan Otonom
Korps Brigade PII
Brigade PII adalah badan otonom PII yang berbentuk
kelasykaran/ketentaraan. Ia ia merupakan salah satu dari pasukan rakyat
yang berjuang melawan penjajah. Pada masa kemerdekaan Republik
Indonesia, terbentuk lasykar-lasykar dari rakyat banyak yang turut
membantu
TKR (Tentara Keamanan Rakyat)antara lain TRI Hizbullah, BPRI (Baris dan Pemberontakan RI),
TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur),
Sabilillah, Tentara Pelajar IPPI, TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh), CM Corps – Mahasiswa, CP (Corps Pelajar Solo) dan lain sebagainya.
Brigade PII diresmikan pada tanggal 6 November 1947 dengan Komandan
Abdul Fattah Permana. Walaupun baru diresmikan pada tahun 1947,
sebenarnya sebelumnya telah ada aktivitas ke-brigade-an di PII. Satuan
yang telah ada sebelum peresmian Brigade PII adalah TPI (Tentara Pelajar
Islam Aceh). Terdapar sebanya 12.000 orang anggotanya yang langsung
dikoordinir di bawah komando Komandan Koordinator Pusat Brigade PII saat
itu. Di antara pimpinan TPI Aceh ialah Hasan Bin Sulaiman, Hamzah S.H.,
dan
Ismail Hasan Metareum SH
Brigade PII juga terlibat dalam perlawanan terhadap pemberontakan PKI di Madiun. Pada saat itu, Komandan Brigade PII Madiun
Surjo Sugito yang
masih belajar di Sekolah Menengah, tewas. Ketika era bawah tanah, peran
Brigade yang paling utama adalah menyelamat missi dan eksistensi
organisasi. Tak jarang Brigade memainkan peran yang seharusnya
diperankan oleh badan induk PII yang sedang dibekukan oleh pemerintah
Orde Baru.
Korps PII Wati
Korps PII adalah Badan Otonom PII yang khusus melakukan pembinaan pelajar putri. Pada awalnya gagasan Korps PII Wati lahir di
Training Centre (TC)
Keputerian PII se-Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 20-28 Juli
1963 di Surabaya. Dalam TC berkembang kesadaran kuat untuk meningkatkan
peranan dan kualitas kader dan kepemimpinan PII Wati serta menghapus
citra negatif peran PII Wari hanya sebagai pengelola konsumsi. Selain
itu juga ada fakta bahwa kesempatan bagi pelajar puteri untuk
mengembangkan diri di PII relatif lebih terbatas dan pendek dibandingkan
pelajar putra. Oleh karena itu peserta TC merumuskan gagasan
pembentukan suatu wadah alternatif yang diharapkan mampumempercepat
proses kaderisasi kepemimpinan puteri dalam masa aktif yang pendek
tersebut.
Pada akhir 1963, Bagian Keputrian PW PII Yogjakarta Besar mulai
membentuk Korps PII Wati Yogjakarta Besar. Selanjutnya dalam sidang
keputerian
Muktamar PII
X Juli 1964 di Malang, Koprs PII Wati Yogyakarta Besar diwakili St.
Wardanah AR, Masyitoh Sjafei dan Hafsah Said mengajukan usulan
pembentukan Koprs PII Wati. Sementara Sri Sjamsiar dari PB PII juga
mengajukan usul serupa. Kedua usulan itu diterima dalam Muktamar
tersebut. Selanjutnya Rapat Pleno I PB PII periode 1964-1966 yang
dilangsungkan pada tanggal 6 September 1964 menugaskan Sri Sjamsiar
selaku Ketua IV untuk mengkoordinir tindak lanjut Keputusan Muktamar X
itu. Sebagai hasil dari tindak lanjut tersebut terbentuk Koprs PII Wati
dengan Ketua pertama Siti Habibah Idris.
Dalam perkembangan selanjutnya, Korps PII Wati semakin mandiri. Pengurus
Korps PII wati tidak lagi dipilih dari bidang keputrian, namun dipilih
dalam musyawarah khusus dalam institusi musyawarah PII. Korps PII wati
juga memiliki struktur yang otonom sampai ke tingkat komisariat PII.
[sunting]Pengurus Besar dari masa ke masa
No | Forum | Ketua Umum | Sekretaris Jenderal | Komandan Brigade | Ketua PII Wati | Dari | Sampai |
1 | Rapat Pendirian, Kauman Yogyakarta, 4 Mei 1947 | Joesdi Ghazali | Ibrahim Zarkasji | belum ada | belum ada | 1947 | 1947 |
2 | Kongres I, Solo, Jawa Tengah Juli 1947 | Noersjaf | Joesdi Ghazali | Abdul Fattah Permana | belum ada | 1947 | 1948 |
3 | Kongres II, Blitar, Jawa Timur, 1948 | Anton Timoer Djailani | A. Halim Tuasikal |
| belum ada | 1948 | 1950 |
4 | Kongres III, Bandung, Jawa Barat | Anton Timoer Djailani | A. Halim Tuasikal |
| belum ada | 1950 | 1952 |
5 | Maret 1950 Kongres IV, Surabaya, Jawa Timur, Oktober 1952 | Ridwan Hasjim | A. Halim Tuasikal |
| belum ada | 1952 | 1954 |
6 | Kongres V, Kediri, Jawa Timur, Februari 1954 | Amir Hamzah Wirjosoekanto | Ichwan Harjadi |
| belum ada | 1954 | 1956 |
7 | Kongres VI, Semarang, Jawa Tengah, Januari 1956 | Ali Undaja | Abdurahman Asy'ari |
| belum ada | 1956 | 1958 |
8 | Kongres VII, Palembang, Sumatra Selatan, Januari 1958 | Wartomo Dwijuwono | Agus Sudono |
| belum ada | 1958 | 1960 |
9 | Kongres VIII, Cirebon, Jawa Barat, Juli 1960 | Thaher Sahabuddin | Endang T. Djauhari |
| belum ada | 1960 | 1962 |
10 | Muktamar Nasional IX, Medan, Sumatera Utara, Juli 1962 | Ahmad Djuwaeni | Hartono Mardjono |
| belum ada | 1962 | 1964 |
11 | Muktamar Nasional X, Malang, Jawa Timur, Juli 1964 | Syarifuddin Siregar Pahu | M. Husni Thamrin |
| St. Habibah Idris | 1964 | 1966 |
12 | Muktamar Nasional XI, Bandung, Jawa Barat, Agustus-September 1966 | M. Husni Thamrin (1966),Utomo Dananjaya (1966-1969) | Utomo Dananjaya (1966), Khozien Arief (1966-1969) | Gomsoni Yasin | Wifra Ilyas | 1966 | 1969 |
12 |
| M. Husein Umar | Mansyur M. Amin |
|
| 1966 | 1969 |
14 | Muktamar Nasional XII, Makassar, Sulawesi Selatan, Agustus 1969 | M. Husein Umar | Mansyur M. Amin |
|
| 1969 | 1973 |
14 |
| Usep Fathuddin | Khozien Arief |
|
| 1969 | 1973 |
15 | Muktamar Nasional XIII, Bandung, Jawa Barat, April 1973 | Yusuf Rahimi | Achmad Djauhari |
| Nurdiati Akma | 1973 | 1976 |
16 | Muktamar Nasional XIV, Jakarta, Juli 1976 | Ahmad Jonanie Aloetsjah | Nasroul Hamzah |
|
| 1976 | 1980 |
17 | Muktamar Nasional XV, Surabaya, Jawa Timur, Januari 1980 | Masyhuri Amin Mukhri | M. Ibnu Sulaiman |
|
| 1980 | 1983 |
18 | Muktamar Nasional XVI, Jakarta, Juni 1983 | Mutammimul Ula | A. Rasyid Muhammad |
|
| 1983 | 1986 |
19 | Muktamar Nasional XVII, Bogor, Jawa Barat, September 1986 | Chalidin Yacobs | Mukhlis Abdi |
|
| 1986 | 1989 |
20 | Muktamar Nasional XVIII, Yogyakarta, Oktober 1989 | Agus Salim | Abdullah Baqir Zein |
|
| 1989 | 1992 |
21 | Muktamar Nasional XIX, Garut, Jawa Barat, Desember 1992 | Syaefunnur Maszah | Abdul Rahman Farid |
| Marfuah Musthafa | 1992 | 1995 |
22 | Muktamar Nasional XX, Bogor, Jabar, 26-29 Januari 1995 | Abdul Hakam Naja | Zaenul Ula MJ (1995-1996), Asep Efendi (1996-1997), Subarman HS (1997-1998) | Supriatna | Istianah Hamid | 1995 | 1998 |
23 | Muktamar Nasional XXI, Jakarta, 25-29 Mei 1998 | Djayadi Hanan | Irfan Maulana Amrullah (1998-1999), Rofiq Azhar (1999-2000) | Ujang Supriadi (1998-1999), Herry D. Kurniawan (1999-2000) | Tirta Murlina | 1998 | 2000 |
24 | Muktamar Nasional XXII, Banda Aceh, DI. Aceh, 11-16 Juli 2000 | Abdi Rahmat | Fajar Nursahid (2000-2001), Muhammad Sudjatmoko (2001-2002) | Muhammad Shood Solehuddin | Nani Hayati (2000-2002), Desi Refida Minda Sari (2002) | 2000 | 2002 |
25 | Muktamar Nasional XXIII, Makassar, Sulawesi Selatan, 8 – 14 Juli 2002 | Zulfikar | Romdin Azhar (2002-2003), Tri Suhari Yadi (2003-2004) | Zaenal Abidin | Aryani Patimah | 2002 | 2004 |
26 | Muktamar Nasional XXIV, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 18 – 26 Juli 2004 | Delianur | Jen Zuldi RZ (2004-2005), Pujo Priyono (2005-2006) | Nurdiansyah | Hanik Riwayati | 2004 | 2006 |
27 | Muktamar Nasional XXV, Ambon, Maluku, 06 - 12 Juli 2006 | Muhammad Zaid Markarma | Nuril Anwar (2006-2007), Yudi Helfi (2007-2008) | Deni Rusdiana (2006-2008), Jamaluddin Hidayat (2008) | Nur Amelia | 2006 | 2008 |
28 | Muktamar Nasional XXVI, Pontianak, Kalimantan Barat, 8-16 Juli 2008 | Nashrullah Al-Ghifary | Ahmad Jojon Novandri | Ahmad Syahidin | Nur Amelia (2008-2009), Ulfa Elvia Baroroh (2009-2010) | 2008 | 2010 |
29 | Muktamar Nasional XXVII, Serang, Banten, 2010 | Muhammad Ridha | Ridhwan Zulmi (2010-2011), Dede Rahmat (2011-2012) | Zulfikar Kareung | Maryam Ali | 2010 | 2012 |
30 | Muktamar Nasional XXVIII, Palu, Sulawesi Tengah, 2012 | Randy Muchariman | Ahmad Zaki | Adi Surya Lasny | Kartika Mayasari | 2012 | 2015 |
Kaderisasi
Organisasi ini mempunyai pola kaderisasi berjenjang yang
mengkombinasikan aktivisme, intelektualisme, dan religiusitas yang
disebut
Ta'dib. Istilah Ta'dib yang dikembangkan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan makna bagi penyelenggaraan kaderisasi di PII. Istilah Ta'dib tidak sekedar digunakan sebagai pembeda dari istilah
tarbiyah ,yang
tidak bermakna spesifik karena konsep tarbiyah bersifat umum sementara
ta'dib lebih bersifat spesifik pada pendidikan dalam rangka menciptakan
manusia yang lebih beradab. Akan tetapi konsep Ta'dib dipakai untuk
suatu visi luas dan mendepan yang dimiliki oleh PII sejak kelahirannya
di tahun 1947.
Ta'dib sendiri merupakan sistem kaderisasi mutakhir yang digunakan PII
sejak era reformasi yang menandai munculnya kembali PII di ranah
kehidupan publik setelah dibekukan oleh perintah
orde baru dalam kasus pemaksaan
asas tunggal. Sistem ini mengkombinasikan tiga model pembinaan kader melalui jalur training, ta'lim dan kursus.
Training
Training merupakan jantung kaderisasi PII. Durasi training berlangsung
selama masing-masing 6 - 8 hari. Ada 3 jenjang training yakni Basic
Training, Intermediate Training, dan Advanced Training
Ta'lim
Ta'lim merupakan sarana pembinaan keislaman kader secara berkelanjutan.
Terdapat 3 jenjang ta'lim yakni Ta'lim Awwal, Ta'lim Wustha, dan Ta'lim
'Aly
Kursus
Melalui kursus kader PII diberikan keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan baik dalam bidang keislaman, kepemimpinan, maupun ilmu
pengetahuan. Terdapat banyak paket kursus di PII seperti Forum
Perkenalan Anggota (Foperta), Belajar Islam Bersama (BIB), Telaah Nilai
Kepribadian Muslimah (TNKM), Pendidikan Kader Tunas (PKT), Latihan
Intensif Brigade (LIB), Latihan Brigade Tingkat Dasar (LBTD), Latihan
Brigade Tingkat Lanjut (LBTL), Forum Pacu Prestasi Studi (Forpasdi),
Pendidikan Muallim, Pendidikan Pemandu, Pendidikan Instruktur Dasar dan
Lanjut, serta banyak kursus lainnya.
Kerja sama Internasional
Sejak lama PII telah membuka kerja sama internasional dengan berbagai
lembaga pelajar yang ada di berbagai negara. PII adalah pendiri
Persatuan Pelajar Asia Tenggara (
PEPIAT) bersama dengan
PKPIM di Malaysia. PII juga anggota pendiri di International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO), anggota di
World Assembly of Muslim Youth (
WAMY), dll. Pada tahun 1995, Ketua Umum PB PII
Abdul Hakam Naja terpilih sebagai Financial Secretary IIFSO. Setelah itu pada tahun 2007, Ketua Umum PB PII
Muhammad Zaid Markarma terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PEPIAT.
Alumni PII
|
Lambang Perhimpunan Keluarga Besar PII
|
Sebagai organisasi kader, masa aktif di PII sangat terbatas hanya pada
usia sekolah/mahasiswa. Setelah itu, seorang kader menjadi alumni PII
dan dikenal sebagai
Keluarga Besar PII.
Sebagian alumni PII melanjutkan aktivitasnya di organisasi atau lembaga
lain sehingga seringkali lebih dikenal sebagai tokoh di lembaga
tersebut. Sebagian besar alumni PII tahun 1960-an identik dengan alumni
HMI selain ada juga yang menjadi anggota
IMM,
PMII,
dan lainnya. Selanjutnya sebagian melanjutkan ke jalur politik namun
cenderung tidak monolitik sehingga tersebar di berbagai Partai Politik
mulai dari Parpol Islamis sampai Parpol Sekular. Di samping jalur
politik, tidak sedikit di antara mereka menjadi kaum profesional,
pegawai, pengusaha, guru, tentara, pendakwah, pekerja sosial, dan
lainnya. Beberapa alumni PII antara lain
Adi Sasono (
ICMI),
Umar Anggara Jenie (Peneliti Senior),
Sugeng Sarjadi (SSS),
Utomo Danajaya (Paramadina),
Jimly Asshiddiqie,
Hatta Rajasa,
Sutrisno Bachir,
Ganjar Kurnia (Rektor
Universitas Padjajaran),
Taufiq Ismail (Penyair),
Ebiet G. Ade (Penyanyi),
Sofyan Djalil (Profesional), KH.
Cholil Ridhwan (
MUI),
Arief Rachman (Pakar Pendidikan),
Hasyim Muzadi (NU),
Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden RI),
Mustafa Abubakar, (Meneg BUMN),
AM Fatwa,
Tifatul Sembiring(Menkominfo),
Hidayat Nur Wahid mantan Ketua
MPR 2004-2009,
Muhammad Yusuf Asy'ari mantan Menag Perumahan Rakyat
Kabinet Bersatu Jilid I dan
MS Kabanmantan Menhut
Kabinet Bersatu Jilid I.
0 komentar